BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu negara
sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan
pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan
mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan
pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumberdaya manusia,
yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada
pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan
adalah faktor manusianya.
Indonesia merupakan salah
satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya
alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain
di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk
negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi
pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat
penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi di Indonesia
dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat
berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang
sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan
dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan
anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain
sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan
negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan
cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu.
Nabi Mengatakan : suatu bangsa akan mengalami kehancuran,
apabila menegakkan hukum secara diskriminatif, orang elit yang melakukan
pelanggaran hukum tidak dipidana (diampuni) tetapi apabila orang alit melakukan
pelanggaran hukum dikenai sanksi (HR Turmudzi dan Ahmad)
Bukan sudah rahasia
umum lagi, kalau bangsa Indonesia memiliki sejarah kelam dalam pemberantasan
korupsi. Hampir semua lini, amat subuh sebagai pundi-pundi keuangan pribadi
dengan praktek korupsi. Kondisi ini tentunya amat ironis, sebab Indonesia
notabene adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Logikanya, sebagai
negara muslim terbesar sedunia, aspek moral dan relegiusitas menjadi kontrol
sosial bagi masyarakat termasuk pejabat negara, sehingga mereka takut untuk
melakukan korupsi. Sayangnya, aspek moral dan relegiusitas tidak mampu hadir
sebagai kontrol sosial. Yang ada justru budaya korupsi yang kian meraja lela.
Korupsi bisa dipastikan
sudah menjadi tradisi dan mewatak dalam sebagian besar alam bawah sadar insan
Indonesia. Kalau mau dilihat secara preskriptif, sebenarnya perilaku korupsi
adalah watak bawaan yang diwariskan oleh para penjajah. Seperti diketahui,
bahwa sejak berabad-abad lalu korupsi sudah terjadi. Kehancuran VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie), disebabkan oleh perilaku korupsi orang-orang yang ada
di dalamnya. Hal ini merembet kepada kaum priyayi dan pribumi, yang akhirnya
berimbas hingga saat ini, di mana perilaku korupsi menjadi mental masyarakat
Indonesia.[2]
Dengan fenomena diatas
maka kami dari Kelompok Petama mencoba memaparkan kerangka bagaimana Islam
dalam menanggapi kasus Korupsi menurut Islam. Dengan mengambil judul (PANDANGAN
ISLAM TERHADAP KORUPSI) . Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa memancing
diskusi yang lebih intens, guna mencari format ideal untuk korupsi yang
konprehensif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka penulis menyusun suatu rumusan permasalahan ke dalam bentuk
pertanyaan sekaligus membatasi permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari korupsi?
2.
Apa penyebab yang melatar belakangi korupsi?
3.
Apa macam-macam dari korupsi?
4.
Bagaimana terjadinya korupsi di Indonesia?
5.
Bagaimana pandangan dan sikap islam dalam korupsi?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan kami membuat makalah
ini adalah,
1.
Untuk mengetahui pengertian dari
Korupsi
2.
Untuk mengetahui penyebab yang melatarbelakangi Korupsi
3.
Untuk mengetahui macam-macam korupsi
4.
Untuk mngetahui bagaimana terjadinya korupsi di Indonesia
5.
Untuk mngetahui bagaimana cara atau pandangan islam terhadap korupsi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Korupsi
Menurut Prof. Subekti, korupsi
adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan
negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi
dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek
penggunaan uang negara untuk kepentingannya. Sementara itu, Syed Hussen Alatas
memberi batasan bahwa korupsi merupakan suatu transaksi yang tidak jujur yang
dapat menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak lain. Korupsi
dapatberupa penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme. Disitu
ada istilah penyuapan, yaitu suatu tindakan melanggar hukum, melalui tindakan
tersebut si penyuap berharap mendapat perlakuan khusus dari pihak yang disuap.
Seseorang yang menyuap izin agar lebih mudah menyuap pejabat pembuat perizinan.
Agar mudah mengurus KTP menyuap bagian tata pemerintahan. Menyuap dosen agar memperoleh
nilai baik.
Pemerasan, suatu tindakan yang
menguntungkan diri sendiri yang dilakukan dengan menggunakan sarana tertentu
serta pihak lain dengan terpaksa memberikan apa yang diinginkan. Sarana
pemerasan bisa berupa kekuasaan. Pejabat tinggi yang memeras bawahannya[3].
B.
Sebab-Sebab Yang Melatar belakangi Terjadinya
Korupsi
Korupsi dapat terjadi karena beberapa
factor yang mempengaruhi pelaku korupsi itu sendiri atau yang biasa kita
sebutkoruptor. Adapun sebab- sebabnya, antara lain:
1.
Klasik
a) Ketiadaan dan kelemahan
pemimpin. Ketidakmampuan pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya, merupakan peluang bawahan melakukan korupsi. Pemimpin yang bodoh
tidak mungkin mampu melakukan kontrol manajemen lembaganya.kelemahan pemimpin
ini juga termasuk ke-leadership-an, artinya, seorang pemimpin yang tidak
memiliki karisma, akan mudah dipermainkan anak buahnya.L eadershi p dibutuhkan
untuk menumbuhkan rasa takut, ewuh poakewuh di kalangan staf untuk melakukan
penyimpangan.
b) Kelemahan pengajaran
dan etika. Hal ini terkait dengan sistem pendidikan dan substansi pengajaran
yang diberikan. Pola pengajaran etika dan moral lebih ditekankan pada pemahaman
teoritis, tanpa disertai dengan bentuk-bentuk pengimplementasiannya.
c) Kolonialisme dan
penjajahan. Penjajah telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang
tergantung, lebih memilih pasrah daripada berusaha dan senantiasa menempatkan
diri sebagai bawahan. Sementara, dalam pengembangan usaha, mereka lebih
cenderung berlindung di balik kekuasaan (penjajah) dengan melakukan kolusi dan
nepotisme. Sifat dan kepribadian inilah yang menyebabkan munculnya
kecenderungan sebagian orang melakukan korupsi.
d) Rendahnya pendidikan.
Masalah ini sering pula sebagai penyebab timbulnya korupsi. Minimnya
ketrampilan, skill, dan kemampuan membuka peluang usaha adalah wujud rendahnya
pendidikan. Dengan berbagai keterbatasan itulah mereka berupaya mencsri peluang
dengan menggunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan yang besar. Yang dimaksud
rendahnya pendidikan di sini adalah komitmen terhadap pendidikan yang dimiliki.
Karena pada kenyataannya, para koruptor rata-rata memiliki tingkat pendidikan
yang memadai, kemampuan, dan skill.
e) Kemiskinan. Keinginan
yang berlebihan tanpa disertai instropeksi diri atas kemampuan dan modal yang
dimiliki mengantarkan seseorang cenderung melakukan apa saja yang dapat
mengangkat derajatnya. Atas keinginannya yang berlebihan ini, orang akan
menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
f) Tidak adanya hukuman
yang keras, seperti hukuman mati, seumur hidup atau di buang ke Pulau
Nusakambangan. Hukuman seperti itulah yang diperlukan untuk menuntaskan tindak
korupsi.
g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi.
2.
Modern
a)
Rendahnya Sumber Daya Manusia.
Penyebab korupsi yang tergolong
modern itu sebagai akibat rendahnya sumber daya manusia. Kelemahan SDM ada
empat komponen, sebagai berikut:
1)
Bagian
kepala, yakni menyangkut kemampuan seseorang menguasai permasalahan yang
berkaitan dengan sains dan knowledge.
2) Bagian hati, menyangkut
komitmen moral masing-masing komponen bangsa, baik dirinya maupun untuk
kepentingan bangsa dan negara, kepentingan dunia usaha, dan kepentingan seluruh
umat manusia.komitmen mengandung tanggung jawab untuk melakukan sesuatu hanya
yang terbaik dan menguntungkan semua pihak.
3) Aspek skill atau keterampilan, yakni
kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
4)
Fisik
atau kesehatan. Ini menyangkut kemanpuan seseorang mengemban tanggung jawab
yang diberikan. Betapa pun memiliki kemampuan dan komitmen tinggi, tetapi bila
tidak ditunjang dengan kesehatan yang prima, tidak mungkin standar dalam
mencapai tujuann.
b)
Struktur
Ekonomi
Pada masa lalu struktur ekonomi
yang terkait dengan kebijakan ekonomi dan pengembangannya dilakukan secara
bertahap. Sekarang tidak ada konsep itu lagi. Dihapus tanpa ada penggantinya,
sehingga semuanya tidak karuan, tidak dijamin. Jadi, kita terlalu
memporak-perandakan produk lama yang bagus.[4]
C. Macam-Macam Korupsi
Tindak pidana korupsi yang
dilakukan cukup beragam bentuk dan jenisnya. Namun, bila diklasifikasikan ada
tiga jenis atau macamnya, yaitu bentuk, sifat, dan tujuan.
1.
Bentuk
korupsi
Bentuk korupsi terdiri atas dua
macam, yaitu materii dan immaterii . Jadi korupsi tidak selamanya berkaitan
dengan penyalahgunaan uang negara.
Korupsi yang berkaitan dengan uang
termasuk jenis korupsi materiil. Seorang pejabat yang dipercaya atasan untuk
melaksanakan proyek pembangunan, karena tergoda untuk mendapatkan keuntungan
besar proyek yang nilainya Rp 1.000.000,00 dimark up (dinaikkan) menjadi Rp 2.000.000,00
bentuknya jelas penggelembungan nilai proyek yang terkait dengan keuntungan
uang.
Sedangkan yang immaterial adalah
korupsi yang berkaitan dengan pengkhianatan kepercayaan, tugas, dan tanggung
jawab. Tidak disiplin kerja adalah salah satu bentuk korupsi immaterial. Memang
negara tidak dirugikan secara langsung dalam praktik ini. Tetapi, akibat
perbuatan itu, pelayanan yang seharusnya dilakukan negara akhirnya terhambat.
Keterlambatan pelayanan inilah kerugian immaterial yang harus ditanggung negara
atau lembaga swasta. Begitu juga dengan mereka yang secara sengaja memanfaatkan
kedudukan atau tanggung jawab yang dimiliki untuk mengeruk keuntungan pribadi.
2.
Berdasarkan
sifatnya
a.
Korupsi
Publik
Dari segi publik menyangkut
nepotisme, fraus, bribery, dan birokrasi. Nepotisme itu terkait dengan kerabat
terdekat. Segala peluang dan kesempatan yang ada sebesar-besarnya digunakan
untuk kemenangan kerabat dekat. Kerabat dekat bisa keponakan, adik-kakak, nenek
atau kroni.Fraus, artinya, berusaha mempertahankan posisinya dari pengaruh
luar. Berbagai cara dilakukan untuk kepentingan ini. Sodok kanan, sikut kiri,
suap kanan, suap kiri, semua dilakukan agar posisi yang telah dicapai/diduduki
tidak diambil pihak lain atau direbut orang lain.Bribery, artinya pemberian
upeti pada orang yang diharapkan dapat memberikan perlindungan atau pertolongan
bagi kemudahan usahanya.
b.
Korupsi
Privat
Sisi lain korupsi ditinjau dari
privat, yang dimaksud privat ada dua, yaitu badan hukum privat dan masyarakat.
Praktik korupsi terjadi di badan umum privat dan masyarakat terjadi karena
adanya interaksi antara badan hukum privat dengan birokrasi, antara masyarakat
dengan birokrasi. Jadi, sifat interaksi yang terjadi adalah timbal balik.
Interaksi tersebut menghasilkan deal-deal tertentu yang saling menguntungkan.
Jadi, korupsi tidak hanya di lembaga-lembaga institusi negara, tetapi dengan
swasta bergulir, karena ada interaksi. Tanpa ada interaksi antar swasta dengan
pemerintah tidak akan terjadi
Ada dua model korupsi, yaitu: pertama
internal, yakni korupsi yang dilakukan oleh orang dalam. Kedua
internal-eksternal, yakni kolaborasi antara sektok privat dengan publik.
3.
Berdasarkan
tujuannya
Pada umumnya tujuan korupsi, untuk
memperoleh keuntungan pribadi, tetapi secara spesifik meliputi empat tujuan
sebagai berikut:
1) Politik, orang
melakukan korupsi karena bertujuan politik. Praktik korupsi dilakukan bersamaan
dengan kegiatan politik praktis. Tujuan utama korupsi jenis ini untuk mencapai
kedudukan.
2) Di bidang ekonomi,
dilakukan pun untuk kesuksesan bisnisnya. Kurang lebih wujudnya sama, praktik
korupsi disini juga dilakukan dengan segala cara. Tetapi, sasarannya adalah
pemegang kekuasaan. Tujuannya ada dua, yaitu: pertama, mendapat kemudahan di
bidang perizinan dan pengembangan usaha. Kedua, untuk memperoleh akses pasar.
Monopoli adalah bentuk kongkret permainan korupsi di bidang ekonomi.
3)
Di
bidang pendidikan. Lembaga yang seharusnya sebagai kawah candra di muka, tempat
menggodok para calon penerus bangsa, ternyata juga bisa menjadi lahan yang
subur untuk praktik korupsi. Fenomena jual beli gelar dan nilai adalah bukti
kuat bahwa di lembaga ini juga terjangkit korupsi.
4)
Di
bidang hukum, praktik korupsi ditujukan untuk memperoleh fasilitas dan
perlindungan hukum. Fasilitas disini berupa kepastian hukum terhadap bisnis
atau usaha koruptor. Sedangkan, perlindungan hukum menyangkut upaya dari si
koruptor memainkan hukum hingga bisa terbebas dari segala ancaman hukum
pidana.[5]
D. Korupsi Di Indonesia
Di Indonesia, kita melihat kasus
suap terjadi hampir di setiap lapisan masyarakat. Tak hanya di sektor
pemerintahan, suap bahkan dapat dengan mudah ditemukan di sektor swasta. Tak
hanya ditemukan dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan perdagangan, suap
pun meringksek ke dalam ranah layanan publik seperti pendidikan, kesehatan,
hingga administrasi kependudukan.
Untuk masuk ke sekolah milik negara,
calon siswa tak hanya harus memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga
harus menyiapkan uang pelicin. Demikian pula dalam pelayanan Rumah Sakit milik
negara, suap dibutuhkan agar seorang pasien dapat dilayani dan mendapatkan
ranjang kosong untuk perawatan. Dalam bidang administrasi kependudukan, peraturan
di masing-masing daerah sepertinya “sengaja” dibuat tidak sinkron untuk
mempersulit proses kepindahan seorang warga dari satu wilayah ke wilayah lain,
sehingga membuka peluang suap untuk memperlancar urusan.
Boleh dikatakan, tidak ada satu
layanan publik pun yang terbebas dari suap. Dan tidak ada satu warga Indonesia
pun yang tidak pernah terlibat kasus penyuapan, kecuali bagi mereka yang
tinggal di wilayah terpencil dan tidak pernah berurusan dengan negara. Dari
kebiasaan memberikan suap inilah korupsi ikut menjadi subur. Seorang dokter
yang memberikan suap untuk dapat duduk di bangku universitas dan bekerja di
rumah sakit, akan meminta suap dari calon pasiennya atau mengurangi hak-hak
yang seharusnya diterima oleh pasien.
Seorang pejabat publik yang meraih
kedudukannya dengan jalan suap akan meminta suap dari masyarakat atau memotong
hak-hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang dilayaninya.
Akibatnya, kecurangan tidak hanya
terjadi di satu sisi saja-suap yang diberikan dari bawah ke atas (bottom-up)
–melainkan juga penggelapan uang negara yang seharusnya menjadi hak rakyat
untuk masuk ke dalam kas pribadi– dari atas ke bawah (top-down). Inilah yang
terjadi di Indonesia selama beberapa puluh tahun belakangan.
1.
Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan permasalah
mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang
sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media
massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan
pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk
memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan perundang-undang yang merupakan
bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi meaning less,
apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan
perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada
recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini
mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak
lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi.
Dimensi politik hukum yang merupakan
“kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”, merupakan kebijakan
pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana peraturan
perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah, penguasa
tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep
perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia,
yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan
perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis
Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang
Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU
Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU
Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU
Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU
bidang ekonomi lainnya. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut
memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan
memberikan ruang terhadap terjadinya praktek korupsi.
Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa
Negara-negara industri tidak dapat lagi menggurui Negara-negara berkembang soal
praktik korupsi, karena melalui korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik
Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit
Man” John Perkin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat
melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional
menjerat Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan korupsi yang
merajalela dan terperangkap dalam hutang luar negeri yang luar biasa besar,
seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat itu. Hal ini dilakukan dalam
melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, dan berhasil.
Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui tumbangnya
kekuasaan icon orde baru, Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan
demokratisasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut perubahan
tersebut. Namun sayang reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui
rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Buble Gum” yang setiap saat siap meledak
itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat.
Namun, apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan
lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut para
pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tersentralisasi di
pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh
desentralisasi pengelolaan keuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan
pertumbuhan yang signifikan.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia,
praktek korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan.
Pertama, karena melemahnya nilai-nilai
sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan
kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika
pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang.
Kedua, tidak ada transparansi dan
tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan
oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi
promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas
pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama.
Dan dua alasan ini menyeruak di
Indonesia, pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik
korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Korupsi dan
Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi
Keadilan ekonomi dan keadilan sosial
sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan
politik. Keadilan politik adalah “aturan main” berpolitik yang adil, atau
menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof
dan ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara
empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data empirik dalam
berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan
selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik
kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi
masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adil kah
orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat
banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau
miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup
maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang.[8]
2.
Hukuman
Mati Bagi Koruptor Menurut UU
Kalau ditelaah baik-baik, maka
sesungguhnya UU sangat mendukung hukuman mati bagi koruptor. Berikut saya
ikutkan tulisan-tulisan yang saya caplok dari situs-situs resmi di tanah air.
Sebagai berikut;
Padahal, dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi diberi ruang tentang hukuman mati itu. Yaitu, “dalam kondisi
tertentu, hukuman mati terhadap koruptor bisa dilakukan.”Persoalannya, para
hakim menilai ‘kondisi tertentu’ itu belum memenuhi syarat. Karena persepsi
demikian, pikiran tentang hukuman mati malah dianggap lelucon.“UU Pemberantasan
Korupsi khusus Pasal 2 Ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 yang memuat ancaman pidana
mati…”Wacana hukuman mati untuk koruptor menuai pro kontra. Pengamat hukum dari
UGM Denny Indrayana menilai, hukuman mati bagi koruptor tidak melanggar HAM dan
UUD 1945.
“Saya setuju hukuman mati diterapkan
untuk koruptor. Secara konstitusional, itu (hukuman mati) tidak melanggar UUD.
Secara HAM, itu tidak melanggar HAM. Secara hak Tuhan, itu berarti kita bicara
agama. Dalam agama Islam yang saya anut, justru ada hukuman mati,” kata Denny. Wacana itupun dinilai
sangat wajar oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Malarangeng, sebab dalam sistem
hukum dan UU yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih mengakui hukuman
mati, sebagai sanksi hukum yang paling maksimal. “Wacana hukuman
maksimal untuk korupsi, saya rasa sangat wajar. Tapi itu lebih baik jadi wacana
masyarakat, kemudian dalam proses legislasi di DPR di kembangkan, “kata Andi. Pelaksanaan hukuman
mati, lanjut mantan Presiden PKS tersebut, harus dilakukan dengan tegas dan
cepat. Ia yakin penerapan hukam mati tidak akan menimbulkan protes bagi dunia
internasional. “Malaysia dan Singapura bisa menerapkan, mengapa Indonesia
tidak, ” katanya (Baca, Hidayat Nurwahid). Pidana mati untuk
koruptor di Indonesia bisa diberlakukan, bila mengacu kepada UU RI No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pasal
2 Ayat 2 menyebutkan Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang
dimaskud dengan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi itu
dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan
tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter.
E. Korupsi Dalam Pandangan
dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap
korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi
dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan
misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan
semesta (iqâmat al-'adâlah alijtimâ'iyyah wa al-mashlahat al-'âmmah), korupsi
juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan
pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang akuntabel. Oleh karena
itu, baik al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ' al- 'ulamâ menunjukkan
pelarangannya secara tegas (sharih).
Dalam al-Qur'an, misalnya,
dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang
lain disebutkan: “Hai orangorang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu…” Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi,
dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima
suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW
melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya.” Kemudian dalam
kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda: “penyuap dan penerima suap
itu masuk ke neraka.”
Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi,
generasi sesudahnya (tabi'in), maupun para ulama periode sesudahnya, semuanya
bersepakat tanpa khilaf atas keharaman korupsi, baik bagi penyuap, penerima
suap maupun perantaranya. Meski ada perbedaan sedikit mengenai kriteria
kecenderungan mendekati korupsi sebab implikasi yang ditimbulkannya, tetapi
prinsip dasar hukum korupsi adalah haram dan dilarang.
Ini artinya, secara mendasar, Islam
memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja perilaku
korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka
terjadinya tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga
dilarang secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam
al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi.
Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn
Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.
1)
Dalil-Dalil yang Melarang Korupsi Dalam Islam
Surat Al-Baqarah: 188
Yang artinya
:
Janganlah
kalian memakan harta diantara kalian dengan jalan yang batil dengan cara
mencari pembenarannya kepada hakim-hakim, agar kalian dapat memakan harta orang
lain dengan cara dosa sedangkan kalian mengetahuinya.
Surat Ali Imran :161
Yang artinya
:
Tidaklah
pantas bagi seorang Nabi untuk berlaku ghulul (khianat), barang siapa yang
berlaku ghulul maka akan dihadapkan kepadanya apa yang dikhianati dan akan
dibalas perbuatannya dan mereka tidak akan dizhalimi.
Surat Al-Maidah : 33 dan 38
Yang artinya
:
Sesungguhnya balasan orang-orang yang
berbuat hirobah (perampokan) dengan maksud memerangi Allah dan Rasulnya dan
berbuat kerusakan di muka bumi dibunuh, atau disalib atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan berbeda, atau dihilangkan dari bumi (dibunuh), itulah
balasan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka akan mendapat azab
yang besar.
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan
potonglah tangan keduanya, sebagai balasan bagi pekerjaan keduanya, sebagai
balasan dari Allah dan Allah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
Surat Al-Kahfi : 79
Yang artinya
:
Adapun kapal adalah milik orang-orang
miskin yang bekerja di laut, maka aku akan merusaknya karena di belakang mereka
seorang raja yang selalu mengambil hak mereka dengan jalan ghosob. Di samping itu, kita
juga dapat menemukan hadits Rasul saw. yang secara tegas berbicara tentang
kolusi dan korupsi, yaitu :
“Rasulullah -shallallahu `alaihi
wasallam- melaknat orang yang memberikan uang sogok (risywah), penerima sogok
dan perantara keduanya (calo).”
Lebih jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan
sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai
kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami
(menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap
kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu,
kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa yang kami beri
tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang
diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak
diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta
saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan
ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai
Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun
sekecil kayu siwak” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam
al-Muwwatha).[13]
2)
Analisa
tafsir dan fiqih tentang Korupsi
Pada Surat Al-Baqarah ayat 188
disebutkan secara umum bahwa Allah SWT melarang untuk memakan harta orang lain
secara batil. Qurtubi memasukkan dalam kategori larangan ayat ini adalah: riba,
penipuan, ghosob, pelanggaran hak-hak, dan apa yang menyebabkan pemilik harta
tidak senang, dan seluruh apa yang dilarang oleh syariat dalam bentuk apapun.10
Al-Jassos mengatakan bahwa pengambilan harta orang lain dengan jalan batil ini
bisa dalam 2 bentuk:
1. Mengambil dengan cara
zhalim, pencurian, khianat, dan ghosob (menggunakan hak orang lain tanpa izin).
2. Mengambil atau
mendapatkan harta dari pekerjaan-pekerjaan yang terlarang, seperti dari
bunga/riba, hasil penjualan khamar, babi, dan lain-lain.
Asbabunnuzul
ayat ini diturunkan kepada Abdan bin Asywa’ al-Hadhramy menuduh bahwa ia yang
berhak atas harta yang ada di tangan al-Qois al-Kindy, sehingga keduanya
bertengkar di hadapan Nabi SAW. Al-Qois membantah dan ia mau bersumpah untuk
membantah hal tersebut, akan tetapi turunlah ayat ini yang akhirnya Qois tidak
jadi bersumpah dan menyerahkan harta Abdan dengan kerelaan. Pokok permasalahan
dalam ayat di atas adalah larang memakan harta orang lain secara umum dengan
jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke depan hakim, sedangkan jelas harta
yang diambil tersebut milik orang lain. Korupsi adalah salah satu bentuk
pengambilan harta orang lain yang bersifat khusus. Dalil umum di atas adalah
cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah satu bentuk khusus dari
pengambilan harta orang lain. Ayat di atas secara tegas menjelaskan larangan
untuk mengambil harta orang lain yang bukan menjadi haknya.[14]
Selanjutnya
pada surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang
bermakna khianat. Maksudnya mengkhianati kepercayaan Allah SWT dan manusia,
terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghonimah. Lebih jelas Ibnu
Katsir menyebutkan dari Aufy dari Ibnu Abbas bahwa ghulul adalah membagi
sebagian hasil rampasan perang kepada sebagian orang sedangkan sebagian lagi
tidak diberikan.
Asbabunnuzul
ayat ini adalah ketika sebuah harta rampasan perang setelah perang badar
hilang, orang-orang munafiq menuduh bahwasanya Nabi SAW menggelapkan barang
tersebut, sehingga turunlah ayat ini.
Ayat
ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat
dalam segala bentuk. Ibnu Arabi menyebutkan bahwa secara bahasa makna ghulul
ada 3, yaitu khianat, busuk hati, dan khianat terhadap amanat ghanimah.18 Ayat
ini secara khusus ditujukan kepada Nabi SAW tentang keadilan di dalam pembagian
harta ghonimah yang berasal dari rampasan perang, akan tetapi maksud ayat ini
ditujukan umum kepada seluruh umat Islam. Ketika Muadz diutus ke Yaman,
Rasulullah SAW juga memberikan nasehat untuk tidak berlaku ghulul, sebagaimana
disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.[15]
Ayat
ini secara spesifik memang hanya membahas tentang penyalahgunaan harta bersama
untuk dikuasai sendiri, akan tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang
tidak boleh berlaku khianat atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan
salah satu makna korupsi bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan terhadap
harta orang lain atau masyarakat. Analog korupsi dengan ghulul menurut penulis
adalah cukup dekat dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Korupsi adalah
penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga merupakan
penyalahgunaan harta negara, karena memang pemasukan harta negara pada zaman
Nabi SAW adalah ghonimah. Adapun saat ini permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghonimah, tetapi
semua bentuk uang negara.
2.
Korupsi
dilakukan oleh pejabat yang terkait, demikian juga ghulul merupakan
pengkhianatan jabatan oleh pejabat yang terkait.
Selanjutnya yang termasuk dalam
kategori korupsi adalah ghosob. Ayat 79 dari surat Al-Kahfi adalah menceritakan
seorang raja yang zalim yang akan mengambil kapal dari orang-orang miskin
dengan jalan ghosob. Seorang alim yang dikisahkan dalam ayat ini lantas
menenggelamkan kapal agar supaya tidak bisa dimanfaatkan dengan tidak halal
(ghosob) oleh raja yang zalim tersebut.[16]
Pengertian ghosob adalah menguasai harta
orang lain dengan pemaksaan dengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut
dijelaskan bahwa ghosob dilakukan dengan terang-terangan sedangkan ketika
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka dinamakan pencurian. Hanya ghosob ini
kadang berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang dikembalikan kepada
pemiliknya.
Menganalogikan ghosob sebagai salah satu
bentuk korupsi dengan alasan bahwa ayat di atas menceritakan bagaimana seorang
raja yang semena-mena dapat dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya
yang miskin dengan memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk
kepentingan pribadinya. Pada kasus ini ada unsur memperkaya diri atau
pribadinya dengan menggunakan hak rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.[17]
3)
Syariat
Islam Dalam pemberantasan Korupsi
Sesungguhnya terdapat niat cukup
besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah dibuat satu tap MPR khusus tentang
pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa
penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, sebagaimana ditunjukkan
oleh syariat Islam berikut:
Pertama, sistem penggajian yang
layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit
berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia
biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah
keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat
curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak.
Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis
riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan
tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya
menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika
tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang
siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
Kedua, larangan menerima suap dan
hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti
mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.
Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima
suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata,
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang
diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh
buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya.
Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung
memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan.
Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka yang diduga
terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya, yakni
Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Sa’ad
bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena
gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di
pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk
karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan
terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “
Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat
Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu
untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak
menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh
baik bagaimana harta para pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir
terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang
disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau perlu dibuat
tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin
Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru setelah
itu, dibuktikan lewat pengadilan.[18]
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat,
Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si
pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan
dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam al-Quran, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di
antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah [2]:
282). Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang
siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah
(faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua
dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan
lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan
dengan pembuktian terbalik. Bila semua bukti yang diajukan tidak diterima oleh
terdakwa, maka terdakwa itu harus membuktikan dari mana harta itu diperoleh dan
harus pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini bisa
dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar menyita
separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja padamu “.
Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil
tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !”
Setelah itu, Abu Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut
salah. Ia tidak dapat menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme.
Akhirnya, Umar pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah
yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat
efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk
dimasukkan dalam perundang-undangan.[19]
Keempat, teladan pemimpin. Khalifah Umar
menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena
kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal
ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga
agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai
menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan
pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan
penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila
justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak
ada artinya sama sekali.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya,
orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam
Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman
setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk
melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti pencurian
biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas, koruptor, dan pengkhianat
tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu
Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir.
Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor -
dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat media massa). Berkaitan dengan
hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah
memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur
dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena
seharusnya seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan,
“Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar
perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi
seharga hampir 2 dirham (lihat al- Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman
kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam
(hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun,
masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang
membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati.
Keenam, kekayaan keluarga pejabat yang
diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan diputihkan oleh kepala negara
(Khalifah) yang baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para pejabat
lama lalu dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi.
Bila dapat dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar, seperti
dilakukan Umar, kepala negara memerintahkan agar menyerahkan semua kelebihan
itu kepada yang berhak menerimanya. Bila harta kekayaan itu diketahui siapa
pemiliknya yang sah, maka harta tersebut–katakanlah tanah–dikembalikan kepada
pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak jelas siapa pemiliknya yang sah, harta
itu dikembalikan kepada kas negara (Baitul Mal). Namun, bila sulit dibuktikan,
seperti disebut di dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar bin Khaththab
membagi dua kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula, yang
separuh diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan
kepada mereka.
Ketujuh, pengawasan masyarakat.
Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat
yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan
dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang
mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang
mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi
aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian
melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan
pedang”. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan.
Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan
pemberian suap dan hadiah, serta dengan pembuktian terbalik dan gaji yang
mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
4)
Sanksi Hukum Korupsi Dalam Islam
Al-Quran diturunkan oleh Allah kepada
umat manusia guna dijadikan sabagai pedoman hidup dalam mengemban tugas/amanah
sebagai khalifah Allah di bumi. Al-Quran sebagai kitab suci yang menyempurnakan
kitab-kitab suci terdahulu, adalah shalih li kulli zaman wa makan ( tepat untuk
setiap zaman dan tempat), dan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Dan nabi Muhammad SAW, denganSunnahnya
merupakan uswatun hasanah dalam segala perkataan, perbuatan dan prilakunya.
Keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam yang digunakan oleh seluruh umat
Islam, sebagai hudan li al-nas.
Ulama Ushul Fiqh membagi ayat-ayat hokum
dalam al-Quran kepada dua bentuk : yaitu (a) hokum-hukum yang bersifat rinci
(juz’iy), sehingga ayat-ayat tersebut oleh mereka disebut sebagai
hukumta’abbudi (yang tidak dapat dimasuki atau diintervensi akal), dan
hukum-hukum yang bersifat global (kulli) yang merupakan sebagian besar
kandungan ayat-ayat hukum dalam al-Quran, dalam hal ini Sunnah berperan sebagai
penjelas, pengkhusus dan pembatas dari ayat-ayat tersebut.
Hukum Islam dalam suatu masyarakat
manapun dan dimanapun, adalah bertujuan untuk mengendalikan, mengatur, dan
sebagai alat kontrol masyarakat, ia adalah sebuah system yang ditegakan,
terutama untuk melindungi individu maupun hak-hak masyarakat.[20]
Sebagai suatu system hukum yang
didasarkan kepada wahyu (nash), hukum Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan
kemaslatan manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam pada intinya terdiri dari
dua aspek ajaran ditinjau dari segi jenis sumbernya, yaitu
I. Aspek syari’ah, ia
berupa nash atau wahyu yang kebenarannya bersifat mutlak, dan
II. Aspek fikih, berupa
syari’ah yang telah diintervensi oleh akal dan pemikiran manusia yang
kebenarannya bersifat nisbi.
Dalam perumusannya hukum Islam mempunyai
tujuan utama untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok (al-maqashid
al-syar’iyyah), yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan, dan harta.
Kelima hal pokok tadi wajib diwujudkan dan dipelihara demi terwujudnya
kemaslahatan manusia, yang dengan itu tercapailah apa yang disebut, kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat.Dengan demikian, segala perbuatan atau tindakan
yang bisa mengancam keselamatan salah satu dari kelima hal pokok teersebut, maka
patut dianggap sebagai tindak kejahatan (delik) yang dilarang, dan untuk
melindungi dan memelihara kelima hal pokok tersebut dan kemaslahatan manusia
pada umumnya, Islam menetapkan dan menegaskan sejumlah peraturan-peraturan,
baik berupa perintah maupun larangan, dan dalam hal tertentu aturan-aturan
tersebut disertai dengan ancaman hukuman atau sanksi duniawi dan/atau ukhrawi,
jika peraturan tersebut dilanggar.
Hukuman akhirat merupakan ganjaran atau
balasan atas perbuatan menyimpang manusia selama hidup di dunia. Eksekusinya
adalah dengan dimasukan ke dalam siksa neraka. Di dalamnya terdapat variasi
hukuman yang disesuaikan dengan jenis dan kualitas dosa dan kesalahannya.
Hukuman duniawi adalah hukuman yang diputuskan oleh Hakim dan dilaksanakan
hukumannya di dunia.
Hukuman duniawi ada dua macam, yaitu
pertama yang berlandaskan nash berupa qishash, diyat dan had. Dan yang kedua
yang tidak di dasarkan atas nash, melainkan diserahkan pa kebijaksanaan hakim
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yakni berupata’zir yang bentuk dan
sifatnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.[21]
Dengan melihat kepada lima hal pokok di
atas, maka tindak kejahatan dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok besar,
yaitu kejahatan terhadap agama, kejahatan terhadap jiwa manusia, kejahatan
terhadap akal, kejahatan terhadap kehormatan dan keturunan, serta kejahatan
terhadap harta benda.4P em bahasan tentang masalah-masalah kejahatan inilah,
yang dalam banyak literature dikenal dengan fih al-jinayah atau yang biasa
disebut dengan Hukum Pidana Islam.
Hukum Pidana adalah hukum yang bersifat
publik, artinya ia adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, baik berupa fasilitas umum
(negara) maupun kepentingan manusia sendiri, seperti jiwa, tubuh atau fisik
dll. Dalam Hukum Pidana Islam praktek memberikan sanksi pidana kepada setiap
pelangaran atau kejahatan yang bersifat publik tersebut, terbagai dalam tiga
kategori sanksi utama yang sesuai dengan bentuk kejahatannya, yakni sanksi pidana
hudud, sanksi pidana qishash-diyat, dan sanksi pidana ta’zir.
Di dalam pembahsan kitab-kitab fikih
klasik, masalah ‘uqubah itu selalu terintegrasi dengan bentuk-bentukjarimah
(kejahatannya), sehingga terkesan bentuk-bentuk sanksi pidana dalam Islam mempunyai
dampak psikologis masing- masing kepada pelaku kejahatan tertentu. Pada
umumnya, yang dijadikan dasar pembicaraan justru adalah bentuk kejahatannya.
Padahal, bentuk pidananya sendiri tidak terlalu mutlak tergantung kepada
bentuk-bentuk tindak pidananya (delik), dan refleksi mengenai pengaruh atau
dampak psikologis itu sendiri dapat berubah menurut perkembangan zaman,
sehingga bisa saja salah satu bentuk pidana tersebut tidak lagi efektif sebagai
bentuk pidana.
Dari ketiga kategori sanksi pidana tersebut,
yang menjadi permasalahan dan sering menjadi sorotan publik, adalah sanksi
pidana dari jenishudud, danqishash-diyat. Kategori sanksi pidana ini yang
bersifat nushushiyah, karena merupakan sanksi pidana yang telah ditentukan
secara tegas dalam nash al-Quran maupun al- Sunnah. Sanksi pidana tersebut,
dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah, bila telah terpenuhi
persyaratan atau pembuktiannya. Adapun sanksi pidana ta’zir, ia merupakan jenis
hukuman yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash, baik oleh al-Quran maupun
oleh al-Sunnah.
Dengan demikian, kewenangan untuk
menentukan sanksi pidana ta’zir ini, berada di tangan penguasa setempat (ulil
amr), sehingga jenis hukumannya pun beragam sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat. Ta’zir merupakan pranata hukum yang memungkinkan hukum pidana Islam
untuk menyesuaikan diri dengan perkembanghan kebutuhan menurut ruang dan
waktu.[22]
BAB
III
PENUTUP
Korupsi adalah sebuah kata yang
mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.1 Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain
atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang berlaku di
Malaysia korupsi diartikan sebagai reswah yang dalam bahasa Arab bermakna suap.
Merangkai kata untuk perubahan memang
mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang
teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan
merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya
pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama
menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap
wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang
diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik,
bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan
masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin
mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.
Sebagai pembawa amanat Allah, amanat
keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat, pemerintah berkewajiban untuk
menegakkan ketertiban umum, melindungi keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan
keadilan begi kemaslahatan semua pihak, tanpa membedakan warna kulit, suku
bangsa, golongan maupun keyakinan agamanya. Allah berfirman: “Inna Allah
ya-murukum antu-addu al-amanaat ilaa ahliha wa idza hakamtum baina al-naas an
tahkumuu bi al-‘adl…” [“sesungguhnya Allah menyuruh kalian manyampaikan amanat
kepada yang berhak dan apabila kalian memerintah maka memerintahlah berdasarkan
dan dengan keadilan….” (an-Nisa: 59)
Kaidah fiqh juga mengatakan “Tasharruf
al imam ‘ala al-raiyyah manuth bi al-mashlahah” [“Seluruh kebijakan dan
tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber pada kepentingan
mereka” (Qowaid al-fiqh)
Acuan dasar dari kepentingan rakyat
adalah hak-hak mereka yang, dalam Syariat Islam, sekurang-kurangnya meliputi 5
(lim a) hak induk: 1) perlindungan hidup dan keselamatan jiwa-raga (hifdz
al-nafs); 2) perlindungan hak meyakini dan menjalankan keyakinan agamanya
(hifdz al-dien); 3) perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan
akal budi (hifdz al-‘aql); 4) perlindungan hak atas harta benda atau kekayaan
yang diperoleh secara sah (hifdz al-maal); 5) perlindungan atas kehormatan dan
hak hak berketurunan (hifdz al-‘irdl wa al-nasl). [Al-Ghozali, Al-Mustashfa,
juz II, h. 14].
DAFTAR
PUSTAKA
[1]
Muzadi,
H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia
Publishing. Hal : 22
[2]
Ibid
hal 34
[3]
Mubaryanto,
Artikel, “ Keterpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy
Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity System”,
Transparency International, 2000.
[4]
Muzadi,
H. 2004. Menuju indonesia baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia
Publishing. Hal : 34
[5]
Lamintang,
PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia.
Bandung
: Penerbit Sinar Baru. Hal : 30
[6]
Ibid,
hal : 47
[7]
Gramedia
Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “ Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”,
MPKP, FE.UI.
[8]
Bahan Bacaan Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI.
[9]
Mubaryanto,
Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy
Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity System”,
Transparency International, 2000.
[10]
Undang-undang Republik Indonesia UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
[11]
Jur.
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2005),
hal. 5.
[12]
Al-qu’an
nul karim dan terjemahannya
[13]
Abu
Dawud, Sunan Abu Dawud, Jilid. 3, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 291-292.
Lihat juga Muslim, bukhari-muslim,
Jilid. 3, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 789.
[14]
Sa’di
Abu Jaib, Al-Qamus Al-Fiqhi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal. 367 dan hal.
390.
[15]
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid. 3, (Beirut: Dar al-Fikr,1983), hal. 388.
[16]
Al-Jassos,
Ahkam Al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hal. 344. Lihat juga
Thiba’iy, Al-Mzan fi Tafsir Al-Quran, Jilid 4 (Beirut: Muassasah al-A’lami,
1983), hal. 57.
[17]
Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1993), hal. 225.
[18]
Jur.
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2005),
hal. 49.
[19]
Ibid
hal : 99
[20]
Saleh,
Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.
[21]
Ibid
hal 132
[22]
Lamintang,
PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia.
Bandung
: Penerbit Sinar Baru.