BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Apabila kita
melihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, dunia nampak semakin tua,
manusia semakin cerdas, pengetahuan semakin dewasa, dan teknologi pun semakin
canggih. Namun di balik semua itu, apakah kehidupan kita menjadi semakin baik,
semakin nyaman, dan semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun bathiniah?
Mungkin tidak, bahkan sebaliknya. Kehidupan kita nampaknya semakin mundur dan
terpuruk, reformasi kita gebablasan, korupsi semakin terang-terangan dan
merajalela, krisis multi dimensi pun tak kunjung selesai.
Bangsa ini
nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan dan mengalami keadaan yang
demikian. Seperti dikemukakan oleh Dedi Supriadi (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2001:
8-9) bahwa “Orde Baru berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan
sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidak berdayaan akibat berbagai
krisis yang dialaminya.” Keadaan tersebut tidak saja mengakibatkan terpuruknya
ekonomi, tetapi juga mengakibatkan merosotnya kualias hidup, bahkan merosotnya
martabat bangsa. Apakah gerangan yang menyebabkan semua itu? Kalau kita telaah
mungkin akan muncul sederetan faktor penyebab. Ada yang mengatakan karena
pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya tidak adil, rakyatnya tidak
produktif, karyawan bawahannya tidak loyal, tidak bisa kerjasama, tidak empati,
tidak mempunyai keteguhan hati dan komitmen, pelajar dan mahasiswanya tawuran,
dsb. Jadi, kalau kita simak dari uraian di atas, faktor penyebab utamanya
adalah masalah nilai moral, sekali lagi nilai moral.
Mungkinkah
nilai moral sudah hilang di Negara kita? Mungkinkah nilai moral sudah tidak
dimiliki oleh generasi penerus bangsa? Seperti dikatakan oleh Pam Schiller
& Tamera Bryant (2002: viii) bahwa: “jika kita meninggalkan pelajaran
tentang nilai moral yang kebanyakan sudah berubah, kita, sebagai suatu Negara,
beresiko kehilangan sepotong kedamaian dari budaya kita.” Timbullah pertanyaan,
apakah pelajaran tentang nilai moral di Negara kita selama ini telah diabaikan?
Menurut Dedi Supriadi, “Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama pada saat
itu (1968-1980-an) dapat dikatakan ‘terpinggirkan’ oleh haru-biru semangat
Pendidikan Moral Pancasila.” Bagaimana pada tahun 2000-2010 an sampai sekarang?
Apakah pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama masih juga terabaikan?
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu penyebab krisis
multi dimensi, termasuk krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah karena
telah terabaikannya “Pendidikan Moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi
pekerti, akhlaq, nilai moral) bagi generasi penerus. Betapa tidak, ajaran agama
mengatakan: “carilah untuk kehidupan duniamu seolah-olah kamu akan hidup
selamanya, dan carilah akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi,” hal
ini mengandung makna bahwa dalam studi ilmu pengetahuan umum dan agama
hendaklah seimbang, berotak Jerman-berhati Mekah, demi mencapai kesejahteraan
hidup di dunia ini dan akherat nanti.
B. TINJAUAN TEORETIS
Apakah
Pendidikan Nilai Moral? “Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua perbuatan
dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah.” (Soegarda Poerbakawaca, & Harahap, H.A.H., 1981: 257). Menurut
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1):
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Sedangkan
“nilai merupakan suatu ide — sebuah konsep — mengenai sesuatu yang dianggap
penting dalam kehidupan. Ketika seseorang menilai sesuatu ia menganggap sesuatu
tersebut berharga — berharga untuk dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau
berharga untuk dicoba maupun untuk diperoleh. Studi tentang nilai biasanya
terbagi ke dalam area estetik dan etik. Estetik berhubungan erat dengan studi
dan justifikasi terhadap sesuatu yang dianggap indah oleh manusia — apa yang
mereka nikmati. Etik merupakan studi dan justifikasi dari tingkah laku —
bagaimana orang berperilaku. Dasar dari studi etik adalah pertanyaan mengenai
moral — yang merupakan suatu refleksi pertimbangan mengenai sesuatu yang
dianggap benar atau salah.” (Jack R. Fraenkel, 1977: 6). Moral menurut kamus
Poerwadarminta, (1989: 592) adalah “ajaran tertentu baik buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlaq, budi pekerti, susila.”
Menurut
Soegarda, P., dan Harahap, H.A.H., (1981: 434) ciri-ciri yang menunjukkan
adanya pendidikan moral:
1.
Cukup memperhatikan instink dan dorongan-dorongan
spontan dan konstruktif,
2.
Cukup membuka kondisi untuk membentuk
pendapat yang baik,
3.
Cukup memperhatikan perlunya ada kepekaan
untuk menerima dan sikap responsive,
4.
Pendidikan moral memungkinkan memilih secara
bijaksana mana yang benar, mana yang tidak.”
Jadi
Pendidikan Nilai Moral adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh manusia
(orang dewasa) yang terencana untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik
(anak, generasi penerus) menanamkan ketuhanan, nilai-nilai estetik dan etik,
nilai baik dan buruk, benar dan salah, mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban;
akhlaq mulia, budi pekerti luhur agar mencapai kedewasaannya dan
bertanggungjawab. Adapun ruang lingkup materi Pendidikan Nilai Moral antara
lain meliputi: ketuhanan, kejujuran, budi pekerti, akhlaq mulia, kepedulian dan
empati, kerjasama dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas,
sabar, rasa bangga, banyak akal, sikap respek, tanggungjawab, dan toleransi
(Pam Schiller & Tamera Bryant, 2002), serta ketaatan, penuh perhatian, dan
tahu berterima kasih.
C. MANFAAT DAN TUJUAN
Adapun
manfaat dan tujuan makalah ini adalah :
a.
Memberikan informasi tentang pengertian
konsep, nilai, norma, dan moral
b.
Memberikan penjelasan tentang bagaimana
pendidikan yang mengedepankan nilai dan moral
c.
Menggambarkan factor-faktor apa saja yeng
mempengaruhi pendidikan yang bernilai dan bermoral
d.
Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Pengantar Pendidikan semester pertama
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TENTANG KONSEP, NILAI, NORMA, DAN
MORAL
1. Pengertian
Konsep
Pengertian
dan Makna Konsep adalah suatu pernyataan yang masih bersifat abstrak/pemikiran
untuk mengelompokan ide-ide atau peristiwa yang masih dalam angan-angan
seseorang. Meski belum diimplementasikan, konsep yang bersifat positif memiliki
makna yang baik. Begitu pula sebaliknya, jika konsep itu bersifat negatif maka
juga akan memiliki makna negatif pula. Contoh konsep : HAM, demokrasi,
globalisasi, dan masih banyak lagi. Menurut Bruner, setiap konsep mengandung
nama, ciri/atribut, dan aturan.
Perhatikan contoh pemikiran Bruner dikaitkan
dengan HAM seperti di bawah ini !
Contoh : Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di
rumah dan sekolah , Nama konsep : Hak asasi manusia terhadap anak. Contoh
positif :Adanya kesadaran dari orang tua, guru, masyarakat, pemerintah terhadap
hak-hak anak yang harus diberikan. Misal anak diberi waktu belajar, bermain,
mengutarakan pendapatnya baik di rumah, disekolah maupun didalam masyarakat.
Contoh negatif : Orang tua yang merampas hak anak dengan memaksanya berjualan
kue atau koran, sehingga dia tidak sempat belajar atau menyelesaikan
sekolahnya.
2. Pengertian
Nilai
Pengertian
nilai (value), menurut Djahiri (1999), adalah harga, makna, isi dan pesan,
semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori,
sehingga bermakna secara fungsional. Disini, nilai difungsikan untuk
mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai
dijadikan standar perilaku. Sedangkan menurut Dictionary dalam Winataputra
(1989), nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap
memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara instrinsik memang berharga.
Pendidikan nilai adalah pendidikan yang mensosialisasikan dan
menginternalisasikan nilai-nilai dalam diri siswa. Pelaksanaan pendidikan nilai
selain dapat melalui taksonomi Bloom dkk, dapat juga menggunakan jenjang
afektif (Kratzwoh, 1967), berupa penerimaan nilai (receiving), penaggapan nilai
(responding), penghargaan nilai (valuing), pengorganisasi nilai (organization),
karaterisasi nilai (characterization).
Dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara, nilai pancasila merupakan standar
hidup bangsa yang berideologi pancasila. Nilai ini sudah pernah dikemas dan
disosialisasikan melalui P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila),
dan dianjurkan disekolah-sekolah sebagaimana telah dibahas di muka. Anda
hendaknya sadar bahwa secara historis, nilai pancasila digali dari
puncak-puncak kebudayaan, nilai agama, dan adat istiadat bangsa Indonesia
sendiri, bukan dikulak dari negara lain. Nilai ini sudah ada sejak bangsa
Indonesia lahir. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika pancasila mendapat
predikat sebagai jiwa bangsa. Nilai Pancasila yang digali dari bumi Indonesia
sendiri merupakan pandangan hidup/panutan hidaup bangsa Indonesia. Kemudian,
ditingkatkan kembali menjadi Dasar Negara yang secara yuridis formal ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah Indonesia merdeka. Secara
spesifik, nilai Pancasila telah tercermin dalam norma seprti norma agama,
kesusilaan, kesopanan, kebiasaan, serta norma hukum. Dengan demikian, nilai
Pancasila secara individu hendaknya dimaknai sebagai cermin perilaku hidup
sehari-hari yang terwujud dalam cara bersikap dan dalam cara bertindak.
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pengertian dan makna nilai
adalah suatu bobot/kualitas perbuatan kebaikan yang mendapat dalam berbagai hal
yang dianggap sebagai sesesuatu yang berharga, berguna, dan memiliki manfaat.
Dalam pembelajaran PKn SD, nilai sangat penting untuk ditanamkan sejak dini
karena nilai bermanfaat sebagai standar pegangan hidup.
3. Pengertian
Moral
Pengertian
moral, menurut Suseno (1998) adalah ukuran baik-buruknya seseorang, baik
sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan
pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadaikan anak manusia bermoral dan
manusiawi. Sedangkan menurut Ouska dan Whellan (1997), moral adalah prinsip
baik-buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang. Walaupun moral
itu berada dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem yang
berwujut aturan. Moral dan moralitas memiliki sedikit perbedaan, karena moral
adalah prinsip baik-buruk sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan
baik-buruk.
Dengan
demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang
memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan. Ada beberapa pakar
yang mengembangkan pembelajaran nilai moral, dengan tujuan membentuk watak atau
karakteristik anak. Pakar-pakar tersebut diantaranya adalah Newman, Simon,
Howe, dan Lickona. Dari beberapa pakar tersebut, pendapat Lickona yang lebih
cocok diterapkan untuk membentuk watak/karater anak. Pandangan Lickona (1992)
tersebut dikenal dengan educating for character atau pendidikan karakter/watak
untuk membangun karakter atau watak anak. Dalam hal ini, Lickona mengacu pada
pemikiran filosofi Michael Novak yang berpendapat bahwa watak/ karakter
seseorang dibentuk melalui tiga aspek yaitu, moral knowing, moral feeling, dan
moral behavior, yang satu sama lain saling berhubungan dan terkait. Lickona
menggarisbawahi pemikiran Novak. Ia berpendapat bahwa pembentukan
karakter/watak anak dapat dilakukan melalui tiga kerangka pikir, yaitu konsep
moral(moral knowing), sikap moral(moral feeling), dan prilaku moral(moral
behavior). Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karekter anak pun dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.
Pemikiran Lickona ini mengupayakan dapat digunakan untuk membentuk watak anak,
agar dapat memiliki karater demokrasi. Oleh karena itu, materi tersebut harus
menyentuh tiga aspek teori (Lickona), seperti berikut.
Konsep moral
(moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai
moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective talking),
penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan
pengetahuan diri (self knowledge).
Sikap moral
(moral feeling) mencakup kata hati (conscience), rasa percaya diri (self
esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri
(self control), dan kerendahan hati (and huminity). Prilaku moral (moral
behavior) mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will) dan kebiasaan
(habbit).
Berdasarkan
uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa pengertian moral/ moralitas adalah
suatu tuntutan prilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang
tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Dalam pembelajaran
PKn, moral sangat penting untuk ditanamkan pada anak usia SD, karena proses
pembelajaran PKn SD memang bertujuan untuk membentuk moral anak, yaitu moral
yang sesuai dengan nilai falsafah hidupnya.
4. Pengertian
Norma
Norma adalah
tolok ukur/alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan tindakan manusia.
Normal juga bisa diartikan sebagai aturan yang berisi rambu-rambu yang
menggambarkan ukuran tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar/salah.
Norma yang berlaku dimasyarakat Indonesia ada lima, yaitu : (1) norma agama, (2) norma susila, (3) norma
kesopanan, (4) norma kebiasan, dan (5) norma hukum, disamping adanya
norma-norma lainnya. Pelanggaran norma biasanya mendapatkan sanksi, tetapi
bukan berupa hukuman di pengadilan. Menurut anda apa sanksi dari pelanggaran
norma agama? Sanksi dari agama ditentukan oleh Tuhan.
Oleh karena
itu, hukumannya berupa siksaan di akhirat, atau di dunia atas kehendak Tuhan.
Sanksi pelanggaran/ penyimpangan norma kesusilaan adalah moral yang biasanya
berupa gunjingan dari lingkungannya. Penyimpangan norma kesopanan dan norma
kebiasaan, seperti sopan santun dan etika yang berlaku di lingkungannya, juga
mendapat sanksi moral dari masyarakat, misalnya berupa gunjingan atau cemooh.
Begitu pula norma hukum, biasanya berupa aturan-aturan atau undang-undang yang
berlaku di masyarakat dan disepakti bersama. Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa norma adalah petunjuk hidup bagi warga yang ada dalam
masyarakat, karena norma tersebut mengandung sanksi. Siapa saja, baik individu
maupun kelompok, yang melanggar norma dapat hukuman yang berwujud sanksi,
seperti sanksi agama dari Tuhan dan dapartemen agama, sanksi akibat
pelanmggaran susila, kesopanan, hukum, maupun kebiasaan yang berupa sanksi
moral dari masyarakat. Kecerdasan akal tanpa keluhuran budi adalah
kesia-siapan. Pendidikan yang
mengedepankan aspek akal hanya akan melahirkan
manusia berilmu dan berpengetahuan dangkal tanpa memiliki etika, moral, hati
nurani dan beriman. Di sinilah pentingnya pendidikan budi pekerti ditanamkan
sejak dini. ''Apa artinya manusia pintar kalau dia tidak berperasaan, tidak
beriman, tidak mempunyai sopan santun, tutur katanya kasar, tidak profesional
dan pemalas,'' ujar pengamat pendidikan Drs One Krinata, MSc kepada Pembaruan
di sela-sela diskusi pendidikan di Jakarta, Sabtu (1/4). Hal senada juga
diungkap oleh tokoh pendidikan Dr Jaetun HS dan Drs Sutrina Hari, MM. Menurut
One, ironisnya saat ini pendidikan budi pekerti tidak lagi masuk dalam
kurikulum nasional dan diganti dengan pendidikan kebangsaan yang lebih banyak
memberikan informasi sejarah ketimbang penanaman nilai-nilai moral.
Penyelenggara pendidikan lebih mengedepankan pendidikan akal atau otak kanan.
Dijelaskan, pendidikan budi pekerti secara eksplisit berarti lebih menekankan
pendidikan budi dan pendidikan pekerti. Pendidikan budi berarti mental
sedangkan pendidikan pekerti berarti mendidik perilaku. Keduanya satu kesatuan
tidak bisa dipisah-pisahkan. Pendidikan budi, ujarnya, pendidikan bagi seluruh
kapasitas mental, mencakup pendidikan akal, pengembangan kreativitas,
pengembangan perasaan, peningkatan iman dan pengembangan moral dan etika.
Sedangkan untuk pendidikan iman, siswa harus ditanamkan sikap terbuka dan
dijauhi dari fanatisme keagamaan. Sedangkan pendidikan budi pekerti atau
pendidikan perilaku mencakup pendidikan manusia sebagai makhluk berbudaya,
artinya makhluk yang selalu menaati aturan-aturan kebudayaan sehingga
melahirkan manusia berbudaya dan berestetika. Sebagai manusia berbudaya
tentunya siswa akan menjadi makhluk yang handal
berkomunikasi dan sopan santun bertutur bahasa.
Sementara
itu, tokoh pendidikan, dr jaetun hs menilai sangat penting pendidikan
Budi pekerti ditanamkan ulang kepada siswa
dalam bentuk pendidikan terencana serta terprogram dengan materi kurikulum
tersendiri. ''Seluruh upaya pendidikan budi pekerti itu bertujuan untuk
melahirkan sosok manusia terdidik yang dapat menjadi makhluk pribadi. Lewat
pendidikan budi pekerti, dipelajari proses internalisasi nilai atau aturan
kehidupan di tengah masyarakat dalam diri pribadinya. Manusia yang tidak mampu
hidup di tengah masyarakat tidak akan pernah menjadi makhluk sempurna,''
katanya. Kelemahan utama penyelenggaraan sistem pendidikan di banyak negara
berkembang adalah soal penegakan disiplin belajar dan mengajar di dalam kelas.
Lemahnya unsur disiplin dalam komponen pendidikan membuat tradisi dan etos
akademis siswa lemah. Ini juga yang
Membuat tidak lahirnya siswa yang memiliki
karakter, disiplin, jujur, profesional dan
Menghargai orang lain. Jadi tradisi dan etos
akademis tersebut, lanjutnya, jika diterjemahkan sebagai disiplin akademis
seharusnya bermakna disiplin dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran,
disiplin dalam melakukan penelitian dan disiplin dalam melaksanakan pengabdian
kepada masyarakat. ''Disiplin sebagai tradisi dan etos akademis perlu dijunjung
tinggi demi tercapainya tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, seluruh jajaran fungsionaris
yang terlibat dalam kegiatan pendidikan ini, wajib meningkatkan disiplin
akademis sebagai suri tauladan dan panutan,'' ujarnya.
B. PERLUNYA PENDIDIKAN YANG MENGEDEPANKAN NILAI
DAN MORAL
Melihat dan
memperhatikan fenomena dan kondisi ideal remaja sebagai generasi penerus maka
Pendidikan Nilai Moral perlu ditanamkan sejak usia dini dan harus dikelola
secara serius. Dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dan program yang
berkualitas. Misalnya dengan jumlah jam pelajaran yang memadai, program yang
jelas, teknik dan pendekatan proses pembelajaran yang handal serta fasilitas
yang memadai. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik, niscaya generasi
penerus akan memiliki moral yang baik, akhlaq mulia, budi pekerti yang luhur,
empati, dan tanggungjawab. Sehingga yang kita saksikan bukan lagi kekerasan dan
tawuran, melainkan saling membantu, menolong sesama, saling menyayangi, rasa
empati, jujur dan tidak korup, serta tanggungjawab. Jangankan memukul atau
membunuh, sedangkan mengejek, mengeluarkan kata-kata kotor dan menghina teman
pun tidak boleh karena dinilai sebagai melanggar nilai-nilai moral. Uraian
tersebut menggambarkan betapa pentingnya pendidikan nilai moral bagi generasi
penerus bangsa yang tercinta ini. Permasalahannya adalah kapan hal ini bisa
kita lakukan? Sekarang? Besok? Atau besok lagi? Kadangkala yang terjadi di
masyarakat kita malah sebaliknya. Sejak dini anak sudah kita ajari dan kita
didik tidak jujur dan tidak percaya diri. Sadar atau tidak kita sebenarnya
telah melakukan kesalahan yang sangat merugikan anak. Misalnya ketika anak kita
terbentur meja, kita katakana meja nakal, meja yang salah, sambil kita memukuli
meja. Ini berarti anak telah kita ajari tidak jujur pada dirinya, dan selalu
menyalahkan orang lain di luar dirinya, sehingga tertanam pada diri anak bahwa
semua yang di luar dirinya adalah salah. Kalau ini terus berkembang, satu saat
nanti ketika dia menjadi mahasiswa atau pejabat, dia akan menjadi manusia yang
selalu menyalahkan orang lain, dan tidak pernah merasa dirinya yang bersalah
dan harus meminta maaf. Bahkan yang terjadi adalah mencaci maki orang lain,
menyalahkan orang lain walaupun kenyataannya orang lain lebih pintar dari
dirinya. Pejabat pun mereka caci maki, bahkan presiden sekali pun mereka caci
maki. Teori pembelajaran sosial dari Bandura. Dapat dipahami bahwa perilaku
anti sosial dan amoral, seperti yang ditayangkan di media elektronika dan cetak
akan menjadi idola dan model yang sangat mudah dan cepat ditiru dan diadopsi
oleh anak. Hal ini sangat berbahaya. Seperti tayangan yang jelas-jelas
merupakan film kekerasan setingkat anak TK yang dipoles dengan humor. Film
eksen yang penuh adegan perkelahian, darah, dan pembunuhan yang dengan mudah
dapat diakses oleh anak dan para generasi muda penerus bangsa. Semua itu akan
memicu tindak amoral dan kekerasan di kalangan anakanak dan remaja. Seperti
dikatakan oleh Bandura, “bahwa dalam kehidupan sehari-hari individu menghadapi
berbagai jenis stimulus model, yakni model hidup (seperti: bintang film, guru,
orang tua, teman sebaya, dsb.) dan model lambang adalah perwujudan tingkah laku
dalam gambar, seperti: film, TV, dan media cetak lainnya.
C. PENTINGNYA PENDIDIKAN NILAI MORAL DALAM
RANGKA MEMAJUKAN KEHIDUPAN BANGSA
Kalau kita
menyaksikan media massa, baik media massa elektronik maupun media massa cetak,
dapat kita lihat gejala-gejala sosial yang kadang-kadang diluar akal sehat kita
sebagai contoh, pembunuhan seorang suami terhadap istri dan anaknya, bentrok
antar supporter sepak bola yang terjadi baru-baru ini, mutilasi yang dilakukan
Babe terhadap ke 8 anak jalanan, korupsi yang merajalela di segenap institusi
pemerintah, pembohongan public, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua itu
memberikan sinyal kepada kita bahwa negara kita sedang mengalami dan menghadapi
badai krisis moral/dekadensi moral. Menghadapi hal seperti itu, maka perlunya
pendidikan Nilai Moral kepada generasi muda sekarang ini. Pendidikan Nilai
Moral mengarahkan setiap anak abngsa untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat. Dengan adanya pendidikan Nilai Moral yang
dilaksanakan dengan komitmen yang tinggi oleh semua pihak, pelanggaran terhadap
Nilai Moral akan bisa di minimalisisr. Jika hal itu bisa berjalan denagn baik,
maka itu akan membantu untuk memajukan kehidupan bangsa. Secara teoritis
investasi modal manusia yang tangguh dan ingin dicapai keabad 21 ini menurut
Bambang Tri Cahyono adalah:
1.
Manusia Religius
2.
Manusia yang ekonomi
3.
Manusia yang berteknologi
4.
Manusia yang siap hidup global dengan
spesifikasinya.
5.
Manusia humanis.
Untuk
mencapai manusia yang tangguh, siap bersaing baik ditingkat nasional maupun
internasional, maka diperlukan investasi modal manusia yakni manusia yang
berbudi pekerti dan hermoral serta berkepribadian baik. Melihat hal diatas, maka
pendidikan Nilai Moral merupakan pendidikan yang sangat vital dalam membentuk
manusia yang berkualitas sebagai asset dalam memajukan kehidupan bangsa.
D. PENDIDIKAN
NILAI MORAL DALAM KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT
Keberhasilan
pendidikan Nilai Moral sangat oleh semua pihak. Pihak-pihak yang dimaksud
dipengaruhi dukungan paling tidak ada tiga pihak, yakni kelaurga, sekolah dan
masyarakat. Penanaman Nilai Moral dalam keluarga biasanya dilakukan kedua orang
tua (Ibu Bapak) kepada anak-anaknya. Penanaman/pendidikan Nilai Moral dapat
berupa larangna untuk melakukan sesuatu hal, pendidikan agama dalam keluarga,
menghormati orang yang lebih tua, tidak boleh keluar larut malam terutama untuk
anak perempuan dan lain-lain. Pendidikan Nilai Moral di sekolah dapat dikatakan
sebagai pendidikan formal. Pendidikan Nilai Moral disekolah bertujuan untuk
mempersiapkan siswa menjadi manusia yang bermoral dan berkualitas serta dapat
hidup secara berdampingan dengan individu yang lain.
Sementara pendidikan Nilai Moral di masyarakat
dapat berupa hidup saling toleransi, menghormati warga masyarakat yang lain,
menjaga keseimbangan di masyarakat, dan tidak mengganggu kehidupan di
masyarakat.
E. FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PENDIDIKAN YANG BERNILAI DAN BERMORAL
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi
psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi
yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan
mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan
berkembang di dalam dirinya.
Remaja yang
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang
penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh
bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang
memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji.
Sebaliknya insividu ytang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang
penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak
berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan
berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi,
dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil
pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ada empat
konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar
terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.
1.
Nilai
Nilai
merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
2.
Moral
Istilah
moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.
3.
Sikap
Fishbein
(1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap suatu objek.
4.
Norma
Norma adalah
tolok ukur/alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan tindakan manusia.
Normal juga bisa diartikan sebagai aturan yang berisi rambu-rambu yang
menggambarkan ukuran tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar/salah.
Dalam
konteksnya hubungan antara nilai,norma,
moral, dan sikap adalah jika keempatnya sudah menyatu dalam superego dan
seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan
cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga
akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Suatu sistem
sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan
sikap kepada anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan, pengasuhan,
pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif
lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang
baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang
diharapkan.
B. SARAN
Dari hasil
makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya baik dari sisi
isi maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya
penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai
hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad dan Asrori, Muhammad, 2006, Psikologi Remaja, Jakarta:PT
Bumi Aksara.
Corey, Gerald, 2009, Teori dan Praktek KONSELING DAN PSIKOTERAPI,
Bandung: PT Refika Aditama
Hurlock, Elizabeth B. 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga,
Panuju, Panut dan Umami, Ida, 1999, Psikologi Remaja, Yogyakarta: PT
Tiara Wacana.
Setyoningtyas, Emila, Kamus Trendy Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo
http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan.htmn
Darmadi Hamid (2007) Dasar Konsep Pendidikan moral, Alfabeta : Bandung
http://suarapembaruan.com/News/2000/04/05/index.html SUARA PEMBARUAN
DAILY Pendidikan yang Mengedepankan Akal Melahirkan Manusia Tanpa Etika Ironis,
Pendidikan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar